EKONOMIAKTUAL.COM
Energi

Kritik Terhadap Kebijakan Subsidi Gas, Pemerintah Rugi Triliunan Rupiah dan Dampak Tak Terukur

 

EKONOMIAKTUAL.COM, JAKARTA: Pemerintah diminta untuk lebih berhati-hati dalam menetapkan kebijakan subsidi gas bumi kepada sejumlah industri tertentu. Selain dari dampak yang belum jelas, kebijakan ini juga menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah.

Menurut Founder & Advisor Reforminer Institute, Lembaga Riset Pertambangan dan Ekonomi Energi, efek yang diharapkan dari kebijakan harga gas tertentu belum terbukti jelas. Terutama, dampaknya terhadap peningkatan pajak dan efek berganda dari perusahaan-perusahaan yang menerima subsidi gas tersebut.

“Penting untuk mengevaluasi kebijakan yang telah diterapkan dari segi biaya dan manfaatnya. Yang pasti, kebijakan ini mengakibatkan penurunan pendapatan negara,” jelas Pri Agung.

Evaluasi terhadap Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) juga dianggap tidak akan berdampak pada daya saing industri dalam negeri. Selain itu, kontribusi gas bumi terhadap beberapa industri dianggap rendah dan tidak merupakan faktor tunggal yang menentukan daya saing suatu industri.

Menurut Pri Agung, “Ada banyak faktor yang mempengaruhi daya saing sebuah industri, seperti permintaan pasar, sumber daya, strategi industri, dan keterkaitannya dengan industri pendukung dalam rantai pasokan. Harga gas hanya merupakan salah satu aspek dari biaya produksi.”

Berdasarkan data pemerintah tahun 2022, komponen biaya gas dalam biaya produksi bervariasi. Industri pupuk memiliki komponen biaya gas tertinggi mencapai 58,48%, diikuti oleh industri kaca (24,84%), keramik (17,87%), oleochemical (8,96%), dan petrokimia (7,72%). Sementara itu, kontribusi biaya gas di industri baja sekitar 7,26%, dan industri sarung tangan memiliki kontribusi terendah sebesar 5,90%.

Sejak diberlakukan pada April 2020, kebijakan HGBT terus menimbulkan kontroversi. Salah satu masalahnya adalah dampak yang tidak pernah terungkap secara jelas. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa subsidi HGBT telah mengurangi pendapatan negara sekitar Rp 30 triliun.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas, Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, menjelaskan bahwa kerugian negara terjadi karena penyesuaian harga gas bumi setelah membagi hasil produksi migas antara pemerintah dan kontraktor.

“Terkait penurunan pendapatan negara dari HGBT, kewajiban pemerintah kepada kontraktor sekitar 46,81 persen atau Rp 16,46 triliun pada tahun 2021, dan 46,94 persen atau Rp 12,93 triliun pada tahun 2022,” kata Tutuka.

Kerugian negara ini diperkirakan akan terus bertambah, karena potensi pendapatan negara yang hilang dari kebijakan ini untuk tahun 2023 dan 2024 belum dihitung.

Sebelumnya, Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, mengatakan bahwa HGBT merupakan kebijakan protektif atau defensif selama pandemi untuk melindungi tujuh industri yang dianggap memerlukan bantuan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi melalui penelitian apakah kebijakan tersebut benar-benar meningkatkan daya saing industri yang menerima subsidi tersebut.

“Dampaknya hanya melindungi industri yang dituju. Apakah kebijakan ini meningkatkan daya saing, hanya bisa dijawab melalui penelitian kuantitatif yang mempertimbangkan berbagai faktor,” ujarnya. (ea4)

Related posts

Optimasi Gas di Masa Transisi Energi, Salah Satu Langkah Hadapi Dampak Ketidakpastian Global Terhadap Komoditi Energi

Redaksi Ekonomi Aktual

Permintaan Solar Subsidi Meningkat, Pertamina Tetap Pastikan Pasokan dan Distribusinya Aman

PGN Menjamin Layanan Gas Bumi Medan Terjaga Pasca Insiden

Redaksi Ekonomi Aktual